“CETHE TULUNGAGUNG”
Mengelilingi Kota Tulungagung, mungkin kita
akan selalu disuguhi bentangan persawahan yang merupakan sumber pencaharian
mayoritas masyarakat Tulungagung, dan pegunungan yang menjulang ke langit yang
selalu tampak di segala penjuru. Di samping itu, kita juga akan disuguhi pesona
pantai yang elok nan indah di setiap pesisir selatan Tulungagung. Belum lagi
adat dan budaya lain yang ada di Tulungagung. Imajinasi kita tak akan putus
ketika membayangkan betapa indahnya Kota Bersinar Tulungagung. Tapi, jika kita
cermati secara seksama di antara keindahan alam Tulungagung, mungkin kita akan
menemukan pemandangan aneh nan elok di setiap hamparan jalanan Tulungagung
ataupun di setiap sudut kota maupun pedesaan. Di sana kita dapat melihat
kerumunan warung yang menyediakan seduhan kopi, itulah warung kopi khas
Tulungagung.
Warung kopi merupakan fenomena tersendiri di
kalangan masyarakat Tulungagung. Selain sejarah dan adat/budaya yang
menghiasinya, juga tak lepas dari pro-kontra keberadaannya. Memang banyak
masyarakat yang menggandrungi warung kopi. Mereka berkumpul membentuk suatu
komunitas dalam bingkai warung kopi. Tapi tak sedikit pula yang memberikan
stigma negatif terhadap warung kopi. Mayoritas mereka beranggapan bahwa warung
kopi adalah tempat maksiat, membuang waktu, dan ajang pemborosan. Tapi, jika
kita telaah lebih dalam, pendapat yang kontra tersebut dapat tak selamanya
benar. Banyak sekali aktivitas-aktivitas positif yang berlangsung di warung
kopi. Semisal, tak jarang para pelajar dan mahasiswa berdiskusi membicarakan
kegiatan belajar mereka di warung kopi. Para makelar, mereka sering
bernegosiasi di warung kopi. Selain itu, warung kopi merupakan ajang penyaji
lapangan pekerjaan bagi para pengangguran. Tak sedikit pula, kita temukan
komunitas-komunitas sosial lahir dari warung kopi.
Terlepas dari semua hal di atas, sebenarnya
penilaian tentang warung kopi tergantung kepada kita sendiri. Kita menilai
secara pragmatis ataukah kita nilai secara bijak? Untuk itu saya paparkan
mengenai sejarah dan keadaan warung kopi, seperti di bawah ini.
Istilah warung kopi identik dengan tempat
menjual kopi, sedangkan ngopi adalah ajakan ke warung untuk menikmati segelas
kopi. Istilah warung kopi dan ngopi sebenarnya sudah ada sejak dahulu. Sejak
jaman Belanda. Jadi istilah tersebut sudah mengakar kuat di kalangan masyarakat
Tulungagung. Maka tak aneh, kalau saat ini istilah tersebut sudah sangat
familiar di kalangan masyarakat Tulungagung. Jika kita melewati atau mampir ke
Tulungagung, tak sulit bagi kita menemukan warung kopi. Dan tentunya sudah
diberi sentuhan modern dengan penambahan menu selain kopi.
Tak ada yang mengetahui secara pasti, kapan
warung kopi mulai muncul, dan kapan pula kopi mulai diperdagangkan. Tapi,
menurut beberapa pendapat, asal warung kopi adalah kebiasaan para petani
sehabis bekerja, lalu berkumpul di warung sambil minum kopi untuk melepas lelah
dan berdiskusi mengenai tanaman mereka. Memang tak ada yang berani atau
berhasil menjelaskan secara pasti, kapan warung kopi mulai muncul. Para ahli
sejarah dan budayawan di Tulungagung sepakat bahwa warung, khususnya warung
kopi, adalah warisan turun temurun leluhur.
Jika kita membicarakan tentang warung kopi
dan ngopi, maka tak boleh ketinggalan, kita juga harus mencantumkan cethe di
dalamnya. Cethe adalah sebutan ampas/limbah seduhan kopi, yang dimanfaatkan
perokok untuk menambah aroma dan sensasi pada rokok. Dan kegiatan
mengoles-oleskan limbah kopi di atas sebatang rokok dengan berbagai cara dan
tampilan dinamakan nyethe.Menurut beberapa ahli, orang yang pertama
mencetuskan dan memperkenalkan cethe atau nyethe ke khalayak ramai adalah
seorang santri pondok pesantren di daerah Kalangbret, Tulungagung. Alasan
santri itu adalah agar rokoknya bisa awet. Ini dikarenakan keadaan ekonomi
santri ponpes yang pas-pasan (maklum santri adalah kaum yang terdidik dalam
kesederhanaan). Santri-santri mempunyai rokok yang terbatas, untuk menyiasati
keterbatasan ini, mereka mengoleskan limbah kopi (cethe) di atas batang rokok
mereka. Awalnya kopi yang mereka gunakan kala itu adalah kopi kasar (atau
masyarakat menyebutnya kopi dep, yaitu kopi yang dihaluskan dengan ditumbuk
menggunakan kayu). Berbeda dengan sekarang, kopi yang dipakai untuk nyethe
adalah kopi halus, karena sekarag sudah ada mesin, jadi kopi bisa ditumbuk
sehalus mungkin dengan mesin tersebut.
Kegiatan nyethe telah mengalami perkembangan
yang luar biasa. Mulai dari bahan baku, yang mulanya hanya berasal dari limbah
kopi saja, kini bahan baku cethe telah dicampuri dengan susu, agar menghasilkan
aroma dan sensasi yang lebih nikmat. Selain itu, agar pola olesan pada rokok
lebih mudah kita bentuk. Begitu pula dengan fungsi nyethe itu sendiri. Kalau
dulu nyethe hanya sebagai sarana agar rokok awet, sehingga kita bisa hidup
hemat, sekarang nyethe sudah dianggap sebagai kegiatan seni layaknya melukis.
Melalui nyethe dapat kita temukan pola-pola unik pada batang rokok, tergantung
kretivitas para pe-nyethe itu sendiri. Di mana pada sebatang rokok bisa kita
temukan gambar-gambar yang unik, mulai dari gambar batik, tulisan nama, olesan
cethe yang merata pada batang rokok, hingga gambar tak beraturan yang menempel
di atas rokok. Nyethe memang berkembang menjadi seni bernilai tinggi pada saat
ini.
Inilah cethe, budaya khas Tulungagung. Betapa
tidak, ketika saya bertemu dengan kawan-kawan SMA saya, yang kini menempuh ilmu
di Perguruan Tinggi di luar Tulungagung, mereka selalu memiliki kesan yang
sama. “Kangen kopinya Mak Tin dan Waris.” Iya, Waris dan Mak Tin adalah nama
warung kopi terkenal dan merupakan warung kopi pelopor di era milenium ini yang
terkenal dengan sebutan “kopi ijonya” (bahasa indonesia: kopi hijau). Warung
kopi yang terletak di Bolorejo, Kauman, Tulungagung, ini selalu digandrungi
oleh masyarakat luas tiap harinya. Melihat pernyataan teman-teman saya
tersebut, saya kemudian mengajukan pertanyaan kepada teman-teman saya yang
kuliah di Malang, Surabaya, Jember, Kediri, Jawa Tengah, dan lain-lain. Saya
bertanya kepada mereka, bagaimana kopi di daerah perantauanmu dan apakah ada
aktivitas nyethe di sana. Dan semua jawaban sama, tidak ada kopi dan aktivitas
cethe seperti Tulungagung. Justru mereka menambahkan kalau daya tarik mereka
pulang ke Tulungagung setiap satu minggu atau dua minggu sekali, adalah kopi
khas Tulungagung dan cethenya. Tak hanya dari kalangan mahasiswa perantau saja.
Bahkan para TKI yang berada di luar negeri sering mereka bercanda rindu akan
kopi khas Tulungagung beserta cethenya. Yang lebih menggelikan lagi adalah
candaan para mahasiswa luar kota yang kuliah di Tulungagung. Mereka seakan-akan
membuat semboyan, “kuliah di Tulungagung itu yang dijadikan patokan adalah
cethe dan kopi ijo. Ketika kita sudah bisa nyethe dengan bagus, dan menikmati
kopi ijo, maka kita sudah berhasil kuliah di Tulungagung.” Candaan yang lucu,
tapi memang benar, karena mereka juga mengakui bahwasannya aktivitas nyethe
baru mereka jumpai ketika mereka menginjakkan kakinya di Tulungagung. Dan kopi
ijo pun baru mereka kenal ketika berada di Tulungagung.
Seperti yang sudah saya singgung di atas, bahwa
cethe telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Begitu juga dengan warung
kopinya. Kalau dulu, warung kopi hanya menjual kopi dan beberapa makanan kecil,
sekarang warung kopi sudah lebih modern, tak hanya kopi, bahkan minuman-minuman
dan makanan ala modern pun tak jarang kita temukan di warung kopi sepanjang
Tulungagung. Bahkan, ada warung kopi yang menyediakan hotspot/wi-fi bagi para
pengunjung. Tak hanya dari segi tampilan, dari segi fungsi pun warung kopi dan
cethenya juga telah mengalami metamorfosis yang menakjubkan. Kalau dulu warung
kopi hanya sebagai tempat istirahat sementara bagi para petani usai dari sawah,
kini warung kopi menjadi tempat yang multifungsi. Hampir semua aspek dalam
kehidupan, termuat dalam satu skema bernama warung kopi. Dari segi ekonomi,
tentu pemilik warung kopi akan menghasilkan keuntungan yang luar biasa dari
aktivitas ngopi dan nyethe yang dilakukan pengunjungnya. Warung kopi juga
tempat untuk bersosialisasi satu sama lain. Tempat mempererat persaudaraan
antara sesama. Di samping itu, warung kopi merupakan tempat yang tidak salah
kita pakai dalam hal perundingan bisnis antar individu. Banyak juga para
pengunjung warung kopi, yang mengaku bahwa mereka ngopi dan nyethe untuk
menyegarkan pikiran mereka yang stress ataupun sedang galau. Selain itu, ngopi
juga dapat kita manfaatkan sebagai sarana mengembangkan kreativitas kita dan
berkreasi sesuai ekspresi kita, yaitu dengan cara nyethe. Seperti yang saya
singgung di atas, bahwa nyethe awalnya hanya sebagai alat agar rokoknya awet,
tapi sekarang nyethe tidak hanya agar rokok awet, tetapi mayoritas cethe adalah
sebagai sarana mengekspresikan diri. Mereka menggambar di atas rokok mereka
sesuai keadaan jiwa dan seni mereka. Bahkan, hampir setiap tahun diadakan
kompetisi nyethe di Tulungagung. Selain itu, ketika ada pertandingan sepakbola,
pemilik warung kopi tak ketinggalan mengadakan acara nonton bareng. Jadi,
warung kopi dan cethe di era modern ini bukan hanya sebatas tradisi leluhur,
tapi juga sebagai seni dan bisnis.
Namun, ketika dipaparkan mengenai sisi
menarik dari warung kopi, muncul sebuah pertanyaan. Lalu kenapa sampai sekarang
potensi tersebut tidak bisa berkembang secara nasional, minimal?? Tentu ketika
kita berbicara realita yang bersimpangan dengan idealis, maka kita tidak boleh
serta merta menyalahkan satu oknum atau mencari kambing hitam. Yang patut kita
lakukan adalah menyalahkan diri kita sendiri. Sejauh mana kita mengembangkan
potensi itu? Baik dari segi bisnisnya, sosialnya, ataupun seninya. Memang
sesuatu yang cukup disayangkan. Potensi besar tanpa pengembangan yang besar
pula. Padahal, jika kita lihat lebih dalam, warung kopi mampu menciptakan
lapangan kerja bagi orang-orang sekitarnya, dan juga mampu membangkitkan
ekonomi masyarakat Tulungagung. Jika warung kopi terus dikembangkan secara
optimal, maka otomatis kita dapat mengurangi TKI yang mengais rupiah di luar
negeri. Apalagi Tulungagung terkenal sebagai salah satu pengekspor TKI
tertinggi. Seharusnya Pemda Tulungagung lebih serius dalam mengembangkan warung
kopi ini.
Menangkap dari penjabaran-penjabaran di atas,
sudah seharusnya Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten
Tulungagung, mengupayakan berbagai tindakan guna pemberdayaan potensi yang ada
pada warung kopi. Pemerintah harus bisa menjadikan warung-warung kopi yang
kecil/pinggiran menjadi warung kopi yang lebih layak dan dilindungi dengan
peratutan perundang-undangan yang berlaku. Bukan malah mengkerdilkan
kreativitas yang produktif dan inovatif yang telah mereka miliki. Pemerintah
harus bertindak nyata, agar kenyamanan para pegiat kopi dalam segala aspek bisa
dinikmati secara utuh. Dalam kaitannya dengan ini, sebenarnya pemerintah secara
konseptual telah membuat Undang-Undang tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah.
Di mana warung kopi termasuk di dalamnya (UMKM). Dan sekarang tinggal bagaimana
kita menerapkannya secara kontekstual. Tapi yang jelas, warung kopi beserta
cethe Tulungagung adalah adat yang berpotensi bisnis besar. Mari kita sama-sama
bergerak mengembangkan potensi yang luar biasa ini. Agar pengangguran dapat
kita kurangi dan kita bisa optimal dalam melukis rokok dengan cethe serta
mengembangkan kreatifitas kita.
“Warung kopi dan nyethe khas Tulungagung,
selain sebagai adat, juga sebagai sejarah bangsa kita. Di mana segala aspek kehidupan,
mulai dari aspek psikologi, sosial, budaya, seni, ekonomi, dan lain-lain,
semuanya berbaur di sana. Sehingga tak heran warung kopi dan cethe khas
Tulungagung merupakan potensi bisnis yang menjanjikan. Tergantung bagaimana
kita bisa memanfaatkan dan mengembangkan potensi itu, demi masyarakat pribumi
kita. Otomatis kita harus bertindak sekarang. Detik ini.”